Dalam hubungan suami istri, pertengkaran menjadi hal yang sulit untuk dihindari. Kadang kala, pertengkaran antara suami dan istri membuat masing-masing pihak memperoleh pelajaran berharga dan bertindak jadi lebih dewasa. Namun, tak menutup kemungkinan, pertengkaran tersebut juga bisa berujung pada perceraian.
Namun, bagaimana kalau gugatan cerai kepada suami diajukan ketika istri dalam kondisi hamil?
Apakah pengajuan gugatan cerai tersebut bakal disetujui oleh pihak pengadilan?
Kemudian, bagaimana status anak dalam kandungan pasca setelah perceraian?
Menurut aturan Hukum di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ada 8 alasan yang dapat dipakai sebagai landasan pengajuan gugatan cerai oleh suami atau istri kepada pasangannya. Enam dari 8 alasan untuk mengajukan cerai memiliki kesamaan dengan UU Perkawinan. Sementara itu, 2 alasan tambahan lainnya yaitu:
1.Terjadi pelanggaran taklik talak oleh suami
2.Salah satu pasangan memilih untuk pindah agama atau murtad yang berujung pada ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga.
Merujuk dari 2 aturan hukum yang berlaku di Indonesia di atas, seorang istri yang tengah hamil, sah-sah saja untuk mengajukan gugatan cerai kepada suaminya.
Dan beberapa asalan perceraian lainya bisa diliaht di video saya sebelumnya tentang alasan-alasan cerai sesuai undang-undang atau di artikel berikut ini tentang apa saja Alasan-alasan cerai menurut Undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Menurut Agama Islam
Lalu, bagaimana dengan pandangan Agama Islam terkait pengajuan gugatan kepada suami ketika istri sedang hamil? Menurut pendapat mayoritas ulama, termasuk di antaranya adalah ulama dari mazhab Syafi’i, melakukan perceraian ketika istri dalam kondisi hamil tidak melanggar aturan agama.
Kebolehan melakukan perceraian ketika masa kehamilan istri ini dilandaskan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya:
“Dari Ibnu Umar RA bahwa ia pernah menalak istrinya dalam keadaan haid. Kemudian Umar bin Khatthab RA menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi. Lantas beliau pun berkata kepada Umar bin Khatthab RA, ‘Perintah kepada dia (Ibnu Umar RA) untuk kembali kepada istrinya, baru kemudian talaklah dia dalam keadaan suci atau hamil,” (HR Muslim).
Para ulama menyimpulkan, hadits ini mengatur tentang adanya larangan menceraikan istri ketika dalam kondisi haid. Nabi Muhammad SAW, dalam hadits tersebut, menyuruh kepada Umar bin Khattab untuk kemudian menceraikan istrinya ketika sudah daam kondisi suci dari haid atau saat hamil.
Hanya saja, ada hal yang perlu diperhatikan terkait aturan menceraikan istri yang tengah mengandung menurut Agama Islam. Hal tersebut adalah berkaitan dengan masa iddah atau waktu menunggu yang diwajibkan kepada wanita setelah terjadi perceraian. Dalam aturan Agama Islam, masa iddah diberlakukan dengan tujuan untuk memastikan apakah wanita tersebut dalam kondisi mengandung atau tidak.
Durasi masa iddah yang harus dijalani oleh seorang wanita bervariasi disesuaikan dengan kondisinya. Untuk kasus wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, masa iddah yang harus dijalani adalah selama 4 bulan 10 hari. Sementara itu, untuk wanita yang bercerai dan tidak dalam kondisi hamil, masa iddahnya adalah 3 bulan. Sementara itu, masa iddah bagi wanita hamil berlangsung hingga proses kelahiran bayi.
Meski telah bercerai dan menjalani masa iddah, seorang wanita masih tetap menjadi tanggungan dari mantan suaminya. Kewajiban ini harus dilakukan oleh seorang laki-laki sampai masa iddah mantan istrinya berakhir. Oleh karena itu, selama masa iddah, seorang wanita berhak untuk memperoleh tempat tinggal, nafkah, serta pakaian dari mantan suaminya.
Status anak dalam kandungan ketika terjadi perceraian
Dalam aturan Agama Islam, seperti yang telah disebutkan, seorang mantan suami memiliki kewajiban untuk tetap memberi nafkah mantan istri hingga masa iddah selesai. Lalu, bagaimana dengan aturan hukum di Indonesia, khususnya pada kasus perceraian yang melibatkan wanita hamil?
Berdasarkan Pasal 28 UU Perkawinan, perceraian itu tidak membuat hubungan antara mantan pasangan suami istri dan anak yang dihasilkan dari perkawinan ikut terputus. Aturan serupa juga bisa dijumpai pada Pasal 75 KHI.
Selanjutnya, terkait status janin yang ada dalam kandungan, bisa merujuk pada Pasal 2 KUHPerdata yang berbunyi, “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak mengehandakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada”.
Dengan landasan aturan tersebut, maka janin yang ada dalam kandungan, memiliki hak yang sama dengan anak yang telah lahir. Oleh karena itu, berdasarkan UU Perkawinan, orang tua tetap berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak hingga mencapai usia dewasa. Kewajiban ini tetap dibebankan dan tidak terpengaruh oleh perceraian.
Selanjutnya, ketika anak telah lahir, hak asuh biasanya berada di tangan ibu. Aturan terkait pemberian hak asuh untuk anak yang belum dewasa ini bisa dijumpai baik di UU Perkawinan serta KHI. Hal yang perlu diperhatikan, walaupun hak asuh tidak berada di tangan mantan suami, kewajiban memberi nafkah anak tetap harus dijalankan.
Selain itu, mantan suami juga berkewajiban memberi nafkah untuk mantan istrinya selama masa iddah (apabila keduanya beragama Islam). Secara umum, pemberian nafkah selama masa iddah dilakukan ketika mantan suami menjatuhkan talak kepada mantan istrinya. Sementara itu, kalau pengajuan gugatan dilakukan istri, maka kewajiban pemberian nafkah oleh mantan suami, gugur.
Namun, pada beberapa kasus, pengadilan memberikan keputusan yang tidak selalu sama. Sebagai contoh adalah Putusan Pengadilan Agama Samarinda dengan nomor 12/Pdt.G/2012/PTA. Smd. Sidang pengadilan tersebut dilakukan karena pihak wanita mengajukan gugatan cerai kepada laki-laki. Namun, dengan berbagai pertimbangan, pengadilan mewajibkan mantan suami untuk tetap memberikan nafkah selama masa iddah dan anak-anaknya.
Oleh karena itu, meski terjadi kasus pengajuan gugatan cerai oleh seorang wanita, baik dalam kondisi hamil atau tidak, mantan istri tetap bisa menuntut pemberian nafkah kepada mantan suami. Selanjutnya, pihak pengadilan akan menentukan, apakah pengajuan tersebut diterima atau tidak dengan melihat fakta-fakta terjadi selama masa perkawinan. Selain itu, terlepas dari keputusan terkait pemberian nafkah, mantan suami tetap harus memberikan nafkah kepada mantan istrinya selama proses pengadilan. Alasannya, pada masa ini, keduanya masih tetap terikat dalam satu rumah tangga.
Demikian, semoga bermanfaat.
Posting Komentar