H48azKwV9kzs09flop9h44oacLigqUCZ27hqYplz

Siapa wali nasab anak yang lahir dari hubungan gelap dan apa hukum menikahi wanita hamil?

Siapa wali nasab anak yang lahir dari hubungan gelap dan apa hukum menikahi wanita hamil?

Wetsss, ini hubungan gelap, bukan antara orang berkulit sama-sama hitam atau makhluk halus yang warnanya hitam-hitam ya, hahaha.

Yah, yang gelap-gelaplah, masa gak paham sih.

Dan saya rasa pembaca juga pasti orang yang sudah pernah gelap-gelapan juga kan?

Atau sekedar ingin tau saja, tapi itulah.

Jadi gini nih,…

Problematika dan tantangan hukum pernikahan saat ini semakin berat seiring dengan semakin cepatnya dinamika perubahan sosial. 

Beberapa aturan perundang undangan (termasuk juga Kompilasi Hukum Islam) yang merupakan hasil ijtihad jam’iyyah ulama Indonesia, oleh sebagian kalangan dinilai menyisakan problem dualisme hukum yakni secara agama dan secara Negara.

Cerita dari seseorang yang beinisial (W) yang hamil di luar nikah dengan  laki-laki (A)

Seperti cerita rakyat, namun saya rasa yah. Memang zaman sekang juga lumrah yah al seperti ini.

Dengan kata (biarlah, yang penting mau urus ini itu gak ribet, tapi pada dasarnya hal ini justru bisa jadi BOM waktu yang di mana bisa meledak kapan saja tanpa kita sadari di masa mendatang).

Lanjut,…

Pada usia kehamilan 4 bulan dia dinikahi laki-laki (B) (sekadar untuk menutupi aib) dengan nikah resmi di KUA. Wah, sudah kayak sewaan saja ya, (kawin kontrak atau apalah itu), haha.

Setelah menikah,  (B) yang merasa jijik tidak pernah menggauli (W) sebagaimana layaknya suami istri.  Tidak lama setelah (W) melahirkan anak perempuan yang diberi nama (MF), (B) pergi meninggalkan (W) dan (MF). 

Tiga tahun kemudian (W) menikah lagi dengan  (C)  Di Akta kelahiran Kartu Keluarga dan Ijazah (MF)  tercantum nama (B) sebagai ayah. Kini usia (MF) 22 tahun sedang  bersiap untuk menikah dengan laki-laki pilihannya. Apakah (B) berhak menjadi wali nikah (MF).  

Kasus pernikahan seperti diceritakan diatas mengandung dualisme hukum, persis menggambarkan kondisi hukum perkawinan di Negara kita. 

UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 sebagai induk perundang undangan perkawinan dan  Inpres Nomor 1 tahun 1990 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman dalam memutuskan perkara-perkara kewarisan, perkawinan dan perceraian, dinilai tidak tuntas karena menciptakan terminologi sah menurut agama dan sah menurut undang-undang Negara.

Disini benang kusut dan data akan mulai berhamburan,

Jadi, Mengacu pasa Pasal 2 Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, misalnya,  perkawinan antara (W) dengan (B) diatas adalah sah secara hukum karena dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ajaran agama (Islam) dan dicatat oleh petugas pencatat. 

Akan tetapi kajian fiqih lintas mazhab menilai anak yang dilahirkan (W) dalam masa perkawinannya dengan (B), tidak bernasab kepada (B) karena (B) tidak pernah membuahi (W) dan saat pernikahan itu dilaksanakan, usia kehamilan (W) sudah 4 bulan lebih. 

Artinya, sisa masa kehamilan (W) dalam ikatan perkawinan dengan (B) yang kurang dari 6 bulan menurut pendapat yang masyhur di mazhab Syafi’i dan Hambali,  tidak  menjadikan (MF) bernasab kepada (B) tetapi hanya kepada ibunya saja. 

Selain itu, fakta (B) bukan laki-laki yang menghamili (W) jelas tidak sesuai dengan ketentuan pasal 53 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan (seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya),

Ketika suatu perkawinan itu dinyatakan sah secara hukum yang dibuktikan dengan adanya buku nikah, maka berlakulah ketentuan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”.

Implikasinya adalah pada nasab perwalian perkawinan dan kewarisan. 

Artinya, anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, bila anak itu perempuan, dia bernasab kepada ayah dan ibunya dan ketika dia akan menikah, ayahnya menjadi wali mujbir.  

Demikian juga ketika ayahnya meninggal dunia si anak tersebut adalah ahli waris karena memiliki hubungan nasab dengan ayahnya yang dibuktikan dengan adanya Akta Kelahiran beserta dokumen-dokumen kependudukan lainnya.

Kondisi ini akan mengakibatkan kusutnya hukum pernikahan dan kewarisan  si anak, persis seperti kacaunya hubungan keperdataan pada pengangkatan anak/ adopsi secara illegal yang banyak terjadi di masyarakat kita. 

Ketika si ayah masih hidup, keruwetan itu masih bisa diurai sejauh si ayah mau terbuka. 

Tapi  bagaimana bila si ayah sudah meninggal dunia, sedangkan  bukti-bukti administrasi sinkron menyatakan hubungan nasab antara si anak dengan saudara laki-lakinya yang sekandung atau yang seayah. 

Demikian juga kaitan dengan tertib urutan wali nikah berikutnya seperti anak keponakan, paman, sepupu dan seterusnya.

Andaikan ikatan pernikahan (W) dengan (B) berlangsung lama sampai kakek nenek dan ketika usia anak pertama mereka  masih Balita lalu pasangan keluarga itu hijrah domisili antar pulau dan selanjutnya melahirkan anak kedua, ketiga dan seterusnya, maka problemnya akan semakin kusut. 

Ketika si ayah meninggal dunia, maka saudaranya yang laki-laki akan menjadi wali atas anak pertama yang perempuan tersebut.  

Seandainya anak pertama itu laki-laki dan memiliki adik perempuan, maka dia yang akan menjadi wali nikah atas adik adiknya. 

Padahal, antara anak pertama dengan adik-adiknya itu tidak memiliki hubungan nasab sebagaimana dia (anak pertama itu) yang juga tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya.

Kemudian, Menikahi Wanita Hamil

Para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai hukum menikahi wanita yang sedang hamil akibat perzinahan. Ulama Hanafiyah berpendapat sah menikahi wanita hamil akibat zina  apabila   yang menikahi  adalah laki-laki yang menghamilikinya, karena wanita yang sedang hamil akibat perzinahan tidak termasuk dalam golongan wanita-wanita yang haram dinikahi sebagaimana bunyi ayat 22-24 AlQur’an Surah An Nisa. Setelah pernikahan itu, keduanya halal melakukan hubungan suami istri.

Akan tetapi, bila yang menikahi adalah laki-laki yang tidak menghamili, maka terdapat dua perbedaan pendapat. Pertama, Abu Hanifah dan Muhammad Asy-Syaibani menyatakan sah nikahnya tetapi tidak boleh dicampuri sampai bayinya lahir. Kedua, Abu Yusuf dan Zufar menyatakan tidak boleh dan tidak sah dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya.

Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat haram menikahi wanita hamil akibat zina, baik oleh laki-laki yang menghamili apalagi yang tidak menghamili. Apabila pernikahan itu tetap dilangsungkan (demi menutup aib) maka akad nikahnya itu fasad (rusak) dan wajib untuk dibatakan (lihat Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu juz VII halaman 149-150), kecuali si wanita telah memenuhi dua syarat ; pertama, dia sudah menyelesaikan masa iddahnya (masa tunggu) yaitu sampai dia melahirkan bayinya, kedua, telah bertobat dari perbuatan zinanya.

Sedangkan ulama Syafi’iyyah berpendapat sah menikahi wanita yang hamil karena zina, baik oleh laki-laki yang menzinahi maupun laki-laki yang tidak menzinahi dengan alasan wanita itu tidak termasuk dalam golongan wanita yang haram dinikahi sebagaimana bunyi ayat 22-24 Surah An Nisa. Setelah akad nikah, keduanya halal melakukan hubungan suami istri.

Untuk menentukan ada tidaknya hubungan nasab atau pertalian kekerabatan antara anak dengan laki-laki yang menikahi ibunya, mazhab Syafi’i dan Hanafi mensyaratkan dilewatinya batas enam bulan dalam kandungan sejak tanggal ibunya dinikahi dengan waktu dilahirkannya anak. (lihat Bughayah al Mustarsyidin, 386).

Dalam kasus tersebut diatas, W sudah hamil 4 bulan lebih. Artinya sisa masa kehamilannya tinggal 5 bulan saja. Hal inilah yang menyebabkan terputusnya nasab diantara MF dengan (B) yang menikahi (W). Terlebih bila mengacu kepada pendapat mazhab Maliki dan Hambali, jelas tidak ada hubungan nasab karena kedua mazhab tersebut berpendapat haram menikahi wanita hamil (baik oleh yang menghamili apalagi yang tidak menghamili). Artinya, pernikahannya saja sudah tidak sah, tentu berimplikasi pada tidak adanya hubungan nasab antara anak dengan ayah sehingga pernikahan (MF) harus berwali hakim.

Ketentuan menikahi wanita hamil di luar nikah  dalam  Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur  pada  pasal 53 ayat (1)  Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya ; 

(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu terlebih dahulu kelahiran anaknya ; 

(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperkukan lagi perkawinan ulang setelah anak yang dikandung itu lahir.

Tegasnya, wanita hamil yang dinikahi bukan oleh laki-laki yang menghamili, apalagi masa dalam kandungan kurang dari enam bulan sejak ibunya dinikahi hingga melahirkan, maka anak itu  tidak memiliki hubungan keperdataan (nasab perwalian dan kewarisan) dengan ayah yang menikahi ibunya.  

Kepala KUA sebagai wali hakim, tentu akan memilih  alasan terbaik dalam mengambil alih status perwalian nikahnya yang sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (3) PMA Nomor 20 tahun 2019 yaitu salah satu dari kondisi ; putusnya garis perwalian nasab, walinya ghaib/ mafqud, walinya adhol/ tidak bersedia, walinya tidak dapat ditemui karena sedang dipenjara isolasi, walinya tidak ada yang beragama Islam atau walinya sedang melaksanakan ihram.

Kesimpulan

Kasus  seperti disebutkan di atas sangat mungkin banyak terjadi di masyarakat. Hal ini tentu saja  tidak boleh didiamkan berlarut larut karena akan merunyamkan hubungan keperdataan anak (nasab perwalian dan kewarisan), dimana akan terjadi pernikahan dengan wali yang salah yang mengakibatkan fasad (cacatnya) pernikahan dan waris mewarisi secara bathil.

Para penghulu harus lebih sering melakukan kajian dan bedah hukum, bahsul masail, FGD dan lain-lain,  terutama dalam rangka memaknai Kumpilasi Hukum Islam (KHI) pasal 53 dan Pasal 99, sehingga tidak terjadi lagi pernikahan wanita hamil dengan laki-laki yang tidak menghamilinya. Kalaupun terjadi sekadar untuk menutup aib, para pihak paling tidak sudah mengetahui bahwa anak yang akan lahir dari perkawinan dengan wanita hamil hanya memiliki hubungan  keperdataan dengan ibunya dan  tidak memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya.

KUA harus lebih teliti dalam memeriksa setiap calon pasangan yang akan menikah. 

Bila diketahui telah hamil, maka pihak KUA wajib memastikan bahwa calon suami adalah laki-laki yang betul-betul  menghamilinya. 

Ketentuan pasal 53 ayat (1) KHI, ini harus dimaknai sebagai prasyarat mutlak  sah tidaknya pernikahan wanita hamil. Bila dia dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya maka pernikahannya sah, tetapi bila dinikahkan dengan laki-laki yang tidak menghamilinya maka pernikahannya tidak sah.

Para Penghulu dan Penyuluh Agama Islam juga para muballigh agar lebih sering menyampaikan permasalahan ini, supaya  masyarakat semakin banyak yang mengetahui dan memahami posisi keperdataan anak hasil hubungan gelap dengan ayah yang menikahi ibunya.

Lebih penting lagi, masyarakat yang mendaftar nikah ke KUA, wajib terbuka tentang kondisi dirinya yang sebenarnya. 

Jangan pernah  merekayasa atau mamanipulasi data dan fakta karena hal itu akan mengakibatkan fasadnya (rusaknya) pernikahan. 

Pihak KUA melakukan pencatatan nikah berdasarkan fakta yang ada dan tentu saja  tidak bisa dibebani tanggung jawab terhadap hal-hal yang  tidak diketahui (apalagi karena kesengajaan para pihak  menyembunyikan fakta). 

Hanya saja, ketika keadaan yang sebenarnya sudah terkuak, maka suami harus mengajukan pembatalan nikah ke Pengadilan Agama. 

Tindakan mencerai istri (yang belakangan diketahui telah dihamili laki-laki lain sebelum dinikahi), hanya memutus ikatan perikahan dan sama sekali tidak memutus hubungan nasab dengan anak hasil hubungan gelap istrinya dengan laki-laki lain sebelum dia nikahi.

Apabila pembatalan nikah tidak dilakukan (misalnya karena kadung mencintai istri dan ikhlas memaafkan masa lalu kelamnya) maka suami wajib mengungkap fakta ini kepada anak-anak dan keluarganya agar kelak tidak menjadi benang kusut keperdataan yang akan sambung bersambung mengacaukan nasab perwalian nikah dan kewarisan.

Sepintas sangatlah sepele, namun perlu di kaji ulang ya, misalkan gini.

Pernah gak ngerasa, kenapa hidup ini serasa susah dan selalu saja ada masalah yang datang bertubi-tubi dan tidak karuan, kalau sepintas pernah mikir kayak gini.

Apakah digaris keturunanku atau pendahuluku melakukan sebuah kesalah ya?

Kira-kira apa dan kenapa, kita juga paling tidak tau apa yang terjadi di masa pendahulu garis keturunan kita yang sebabkan hal-hal yang kata orang-orang selalu ucap adalah (buah jatuh tidaklah jauh dari pohonnya).

Jadi, gimana? ada pertanyaan silahkan tinggalkan komentar.

source:https://kalsel.kemenag.go.id/opini/698/Benang-Kusut-Nasab-Anak-Hasil-Hubungan-Gelap

Posting Komentar

Profile
RISKY KURNIAWAN HIDAYAT, S.H., M.H.
Malang, Jawa Timur, Indonesia