Eksepsi merupakan bagian dari jawaban Tergugat terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat . Eksepsi pada pokoknya membuat bantahan - bantahan tertentu adalah suatu tangkisan atau sanggahan yang tidak berkaitan langsung pokok perkara. Eksepsi pada dasarnya mempersoalkan keabsahan formal dari gugatan Penggugat. Pada perkembangannya, ternyata eksepsi tidak menyangkut masalah keabsahan formal belaka, namun menyangkut pokok perkara yang menentukan dapat tidaknya pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan.
Eksepsi secara garis besarnya mencakup eksepsi kewenangan mengadili dan eksepsi selain kewenangan mengadili. Kedua bentuk eksepsi tersebut masih terbagi atas beberapa jenis eksepsi yang dikenal dalam teori dan praktek hukum acara perdata. Masalah yang akhir ini sering diperdebatkan adalah bagaimana cara memeriksa eksepsi yang bukan berkenaan dengan eksepsi kewenangan mengadili. Apakah an sich dipahami dan dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 136 HIR/162 R.Bg, atau dapat diperiksa tersendiri sebelum masuk ke pemeriksaan pokok perkara sebagaimana dalam eksepsi kewenangan mengadili.
Definisi dan jenis-jenis Eksepsi
1. Definisi Eksepsi
Exceptie (Belanda), Exception (Inggris) secara umum berarti pengecualian. Akan tetapi dalam konteks hukum perdata, bermakna tangkisan atau bantahan (objection), bisa juga pembelaan (plea) yang diajukan Tergugat terhadap materi pokok gugatan Penggugat. Menurut Yahya Harahap,dalam bukunya Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan “Eksepsi adalah tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada hal- hal menyangkut syarat-syarat atu formalitas gugatan, yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil dan tidak berkaitan dengan pokok perkara ( verweer ten principale)yang mengakibatkan gugatan tidak sah sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima.
(inadmissible). Dengan demikian, Eksepsi jawaban Tergugat bentuk bantahan atau sangkalan terhadap gugatan Penggugat, namun tidak secara langsung mengenai pokok perkara dengan maksud agar gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan demikian dalam eksepsi terkandung menimal terdapat tiga unsur di dalamnya yaitu :
a. Jawaban Tergugat yang berisi bantahan atau sangkalan;
b. Bantahan atau sangkalan tersebut tidak secara langsung mengenai pokok perkara, dan
c. Bertujuan agar gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.;
2. Jenis-jenis Eksepsi
Dalam praktik hukum acara perdata yang berlaku saat ini,tangkisan atau eksepsi Tergugat dapat dibagi kepada dua kelompok besar,yaitu eksepsi prosesuil dan eksepsi materil. Kedua bagian utama tersebut mengandung karakteristik tersendiri. Bila eksepsi prosesuil menekan aspek keabsahan formil suatu gugatan , maka eksepsi materil lebih menekankan pada substansi gugatan tidak atau belum dapat diperkarakan karena berbagai alasan atau keadaan melekat didalamnya.:
Eksepsi Formal Atau Eksepsi Prosesuil
Eksepsi ini di dasarkan pada keabsahan formal suatu gugatan, Tergugat meminta kepada pengadilan agar menyatakan agar gugatan Penggugat tidak dapat diterima. Eksepsi Prosesuil secara garis besarnya terbagi dua kelompok yaitu eksepsi kewenangan mengadili dan eksepsi diluar kewenangan mengadili
1. Eksepsi kewenangan mengadili
a. Eksepsi tidak berwenang secara Absolut (Declinatory exceptions)
Yaitu bahwa perkara yang diajukan Penggugat tidak termasuk wewenang Pengadilan Agama, melainkan wewenang lingkungan Pengadilan lain. Dengan perkara yang diajukan diluar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2089 Tentang Peradilan Agama.
Eksepsi Absolut ini pada dasarnya meminta Pengadilan untuk menyatakan diri tidak berwenang dan memutus pokok perkara. Tiap lingkungan peradilan memiliki kewenangan atributif yang telah ditetapkan undang-undang, kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang bersifat mutlak dan tidak dapat atau tidak boleh diperiksa pokok perkaranya oleh Pengadilan oleh lingkungan peradilan lainnya.
b. Eksepsi tidak berwenang secara relatif (Eksepsi Relatif)
Adalah eksepsi yang menyatakan bahwa Pengadlan pemeriksaan perkara tidak berwenang secara relatif untuk memeriksa dan memutus pokok perkara karena wewenang relatif dari Pengadilan lain. Dalam eksepsi ini yang menjadi inti keberatan Tergugat hanya mencakup masalah yurisdiksi Pengadilan , bukan menyangkut kewenangan atributif (absolut) Pengadilan. Cantoh Penggugat mengajukan gugatan waris di Pengadilan Agama Pekanbaru, sedangkan Tergugat dan objek yang disengketakan berada di Pengadilan Agama Bangkinang, maka Pengadilan Agama Pekanbaru tidak berwenang mengadili perkara tersebut.
2. Eksepsi di luar kewenangan mengadili;
a. Eksepsi surat gugatan Penggugat tidak sah.
Eksepsi ini mempermasalahkan tidak terpenuhinya syarat formalistas gugatan Penggugat secara umum. Permasalahan yang sering muncul dalam eksepsi ini adalah menganai keabsahan pihak yang bertandatangan dalam surat gugatan. Surat gugatan yang didalamnya mencantumkan pemberian kuasa khusus kepada pihak tertentu ( misalnya advokat) sering dipermasalahkan oleh Tergugat. Misalnya tanggal surat gugatan lebih dahulu dibanding dengan tanggal surat kuasa sementara yang bertanda tangan di dalam surat gugatan adalah kuasanya, maka surat gugatan Penggugat tidak sah karena ditandatangani oleh kuasa yang secara hukum belum mendapat kuasa melalui surat kuasa khusus.
b. Eksepsi surat kuasa tidak sah.
- Pemberi atau penerima kuasa tidak berwenang.
Dalam eksepsi ini, materi eksepsi Tergugat mempermasalahkan status atau kedudukan pemberi atau penerima kuasa, pada umumnya menyangkut legal standing yang bersangkutan apakah memiliki kewenangan untuk memberikan kuasa khusus kepada penerima atau yang menjadi wakilnya dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan contoh status penerima kuasa apakah Advokat yang terdaftar telah mengucapkan sumpah advokat sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1 ) Undang-undag Nomor 18 Tahun 2003.;
- Surat kuasa tidak menunjuk Pengadilan tertentu;
Ada surat kuasa khusus yang tidak mencantukan atau menunjuk Pengadilan terrtentu, hal ini bertentangan dengan maksud dari surat khusus itu sendiri. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1994 tentang surat kuasa khusus, menegaskan “ Surat Kuasa hurus bersifat khusus dan menurut Undang-undang harus dicantumkan dengan jels bahwa surat kuasa itu harus dipergunakan untuk keperluan tertentu. Dengan mengacu pada makna ‘ khusus’ dan keperluan tertentu” tersebut maka pencantuman Pengadilan tertentu adalah wajib sesuai dengan maksud surat kuasa tersebut.. Bila tidak dicantumkan, maka menimbulkan menafsiran berbeda. Bahkan surat kuasa tersebut dapat dipandang tidak memenuhi maksud surat kuasa khusus, lebih berciri surat kuasa umum.
- Surat kuasa subtitusi tidak sah.
Praktek kuasa subtitusi pada dasarnya dibenarkan dalam praktek beracara. Eksepsi yang berkaitan dengan kuasa subtitusi biasa diajukan oleh Tergugat bahwa dalam surat khusus yang pertama tidak ada klausula opsi hak subtitusi kepada penerima kuasa.
- Surat kuasa bersifat umum.
Eksepsi ini mempermasalahkan formalitas dan esensi dari surat kuasa Penggugat yang dianggap tidak memenuhi kriteria surat kuasa khusus, misalnya menunjuk kepentingan apa yag diwakili, dalam perkara apa dan di Pengadilan mana yang ditunjuk.
c. Eksepsi eror in persona.
Eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan Penggugat tidak melibatkan pihak-pihak yang seharusnya dilibatkan dalam gugatan atau pihak yang ditarik dalam gugatan tidak memiliki kepentingan langsung dengan pokok gugatan; Dalam praktek ada beberapa jenis eksepsi error in persona yaitu :
- Eksepsi gemis aanhocdnigheid
Adalah Eksepsi menyatakan bahwa Penggugat bukanlah orang yang berhak mengajukan gugatan. Dasarnya adalah Penggugat tidak memiliki hak atau kepentingan lansung dengan pokok perkara; Misalnya Penggugat ternyata belum dewasa, kurang ingatan, atau dibawah pengampuan.
- Eksepsi plurium litis consortium.
Adalah Eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan Penggugat cacat formil karena pihak yang ditarik sebagai Tergugat tidak lengkap atau pihak Penggugat tidak lengkap. Tidak lengkap para pihak menyebabkan pihak-pihak yang tidak ditarik atau duduk didalam gugatan dapat dirugikan, dan dapat menimbulkan terjadinya penyeludupan hukum karena dimungkinkan fakta-fakta penting yang menetukan tidak terungkap atau sengaja disembunyikan oleh pihak pihak tertentu yang duduk sebagai Penggugat.
- Eksepsi ex juri terti.
Adalah eksepsi menyatakan gugatan Penggugat kabur dikarenakan ada pihak ketiga yang tidak ditarik sebagai Tergugat, pihak yang ditarik dapat didudukan sebagai Tergugat atau setidak-tidaknya sebagai turut Tergugat.
d. Eksepsi nebis in idem.
Adalah Eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang sama telah pernah diputus oleh Pengadilan sebelumnya. Putusan yang di dalamnya melekat nebis in idem adalah putusan yang bersifat positif, yaitu putusan yang telah memeriksa dan memutus pokok perkara, baik dikabulkan maupun ditolak. Putusan yang didalamnya melekat unsur nebis in idem, selain bersifat positif juga harus telah berkekuatan hukum tetap.Dalam Pasal 1917 KUHPerdata disebutkan
: “Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan. Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama;tutatan harus didasarkan pada alasan yang sama; harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak sama dalam hubungan yang sama pula’
Dari ketentuan tersebut, maka syarat putusan melekat nebis in idem adalah :
- Pokok perkara baru yang dituntut sama dengan pokok perkara lama yang sudah diputus;
- Alasan atau dasar yang didalam gugatan sama dengan perkara yang lama;
- Diajukan oleh pihak-pihak yang sama terhadap pihak yang sama pula;
- Hubungan hukum di antara para pihak sama dengan hukum para pihak pada perkara lama.
e. Eksepsi obscuur libel
Adalah eksepsi gugatan yang diajukan tidak jelas permasalahannya (kabur). Dalam 125 ayat 1 HIR dan pasal 149 ayat 1 RBg dikemukakan bahwa gugatan yang kabur adalah gugatan yang melawan hak dan tidak beralasan;
- Dasar hukum gugatan tidak jelas;
- Dasar peristiwa atau fakta gugatan tidak jelas;
- Objek sengketa tidak jelas;
- Kerugian tidak dirinci;
- Petitum gugatan tidak jelas;
- Posita dan petitum saling bertentangan.
3.Eksepsi Materil
Yaitu eksepsi yang diajukan dengan tujuan agar hakim memeriksa perkara yang sedang berlangsung tidak melanjutkan pemeriksaan karena dalil gugatannya bertentangan dengan hukum perdata (hukum materil). Yang tergolong eksepsi materil adalah :
- Premtoir exceptie
- Dilatoir exceptie
- Premtoir exceptie,
Yaitu tangkisan yang menghalangi dikabulkannya gugatan Penggugat. Sebagai contoh Penggugat mendalilkan gugatannya dengan alasan melanggar sighat taklik talak angka 2 yaitu tidak memberi nafkah isteri tiga bulan lamanya. Tergugat mengakui bahwa Tergugat tidak memberi nafkah kepada Penggugat sudah tiga bulan lamanya, tetapi Tergugat mendailkan bahwa dia tidak memberi nafkah kepada Penggugat karena Penggugat nusuz.
- Dilatoir exceptie
yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan Penggugat belum dapat dikabulkan, karena persyaratan yang diajukan Penggugat belum terpenuhi. Contoh Penggugat mengajukan gugatan cerai dengan alasan melanggar taklik talak, tidak memberi nafkah selama tiga bulan, pada hal saat diajukan gugatan Penggugat tidak diberi nafkah baru dua bulan.
Cara mengajukan Eksepsi
Tata cara pengajuan eksepsi terbagi atas dua jenis yaitu mengajukan Eksepsi Kewenangan Mengadili dan Diluar Kewenangan Mengadili;
a. Eksepsi Kewenangan Mengadili:
- Eksepsi kompentensi Absolut
Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan kapanpun selama proses pemeriksaan dimulai sampai dengan sebelum putusan dijatuhkan pada tingkat pertama , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 HIR yang berbunyi:
“Jika perselisihan itu adalah suatu perkara yang tidak masuk kuasa pengadilan negeri, maka pada sebarang waktu dalam pemeriksaan perkara itu, boleh diminta supaya hakim mengaku dirinya tidak berkuasa dan hakim itupun wajib pula mengaku karena jabatannya bahwa ia tidak berkuasa”.
Eksepsi Absolut ini bertujuan agar hakim menyatakan dirinya tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya, karena perkara tersebut menjadi kewenangan badan peradilan yang lain. Tangkisan terhadap kopetensi absolute ini dapat diajukan setiap saat sepanjang pemeriksaan perkara (pasal 134 HIR dan Pasal 160 RBg) bahkan Hakim wajib secara officio segara memutuskan berkuasa atau tidaknya ia memeriksa perkara yang bersangkutan tanpa menunggu diajukannya tangkisan oleh Tergugat
- Eksepsi kompentensi Relatif
Eksepsi kewenangan relatif hanya dapat diajukan di sidang pertama dan bersamaan dengan saat mengajukan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 HIR yang berbunyi:
“Jika orang yang digugat dipanggil menghadap pengadilan negeri, sedang menurut peraturan pada Pasal 118 ia tidak usah menghadap pengadilan negeri itu, maka bolehlah ia meminta hakim supaya menerangkan bahwa hakim tidak berkuasa, asal saja permintaan itu dimasukan dengan segera pada permulaan persidangan pertama; permintaan itu tidak akan diperhatikan lagi jika orang yang digugat telah melahirkan suatu perlawanan lain”.
b. Eksepsi di luar kewenangan mengadili;
Pada perinsipnya pengajukan Eksepsi di luar kewenangan mengadili sama dengan eksepsi kompentensi relatif. Ketentuan mengenai kapan waktu pengajuan Eksepsi di luar kewenangan mengadili diatur dalam Pasal 114 Rv yang menyatakan : ‘Pengacara Tergugat berkewajiban mengajukan semua tangkisan dan jawaban mengenai pokok perkaranya bersama-sama dengan ancaman tangkisan yang tidak diajukan gugur dan jika tidak dijawab pokok perseolannya ia kehilangan hak untuk mengajukannya’ Meskipun dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebut jawaban pertama, namun penafsiran yang paling tepat terhadap jawaban tersebut dalam praktek adalah “ Jawaban pertama.
Cara pemeriksaan Eksepsi.
1. Cara pemeriksaan Eksepsi kewenangan mengadili.
Pemeriksaan Eksepsi kewenangan mengadili mengacu pada ketentuan Pasal 136 HIR/162 R.Bg. Dalam pasal tersebut dinyatakan : “perlawanan (exceptie) yang sekiranya hendak diajukan oleh Tergugat, kecuali mengenai Pengadilan tidak berwenang , tidak boleh diajukan dan dipertimbangkan secara terpisah , tapi harus dibicarakan dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Eksepsi kewenangan mengadili (Relatif dan Absolut) yang diajukan Tergugat harus diperiksa dan diputus terlebih dahulu oleh hakim sebelum memeriksa pokok perkara. Pemeriksaan terhadap eksepsi tersebut dilakukan dalam sidang insidentil dengan mendengar keterangan dari Penggugat dan Tergugat serta meneliti bukti-bukti secukupnya, apabila Eksepsi kewenangan mengadili ( Relatif dan Absolot) dikabulkan, maka putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim merupakan putusan akhir, tetapi apabila eksepsi Tergugat ditolak maka putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim adalah putusan sela.
2. Cara pemeriksaan Eksepsi di luar kewenangan mengadili.
a. Pengaturan umum
Secara umum pengaturan mengenai cara pemeriksaan Eksepsi di luar kewenangan mengadili merujuk pada ketentuan dalam Pasal 136 HIR/162 Rbg. Dari ketentuan tersebut ,maka Eksepsi di luar kewenangan mengadili harus diperiksa dan diputus bersama sama pokok perkara. Bahwa materi dari eksepsi di luar kewenangan mengadili secara umu bersentuhan dengan pokok perkara, bahkan eksepsi materil substansinya berkaitan berkaitan langsung dengan pokok perkara.
b. Eksepsi surat kuasa, diperiksa bersama pokok perkara atau diperiksa terlebih dahulu ; Eksepsi sah dan tidaknya surat kuasa atau eksepsi dapat diperiksa dan diputus lebih dahulu sebelum memeriksa pokok perkara sebagaimana dalam eksepsi kewenangan mengadili. Eksepsi sah tidaknya surat kuasa bahwa menerima kuasa tidak memiliki legal standing menjadi kuasa, maka dapat diperiksa dan diputus terlebih dahulu. Hal ini didasarkan ada sifat dari surat kuasa atau pemberian kuasa itu sendiri. Bahwa surat kuasa menjadi dasar bagi penerima kuasa mewakili pemberi kuasa berperkara di Pengadilan. Tidak sahnya surat kuasa atau tidak adanya legal standing yang sah menurut hukum pada diri penerima kuasa menyebabknan segala tindakan hukum yang dilakukan tidak memiliki kekuatan mengikat dan cacat hukum.
Posting Komentar