H48azKwV9kzs09flop9h44oacLigqUCZ27hqYplz

Profesi Hukum di Indonesia

Profesi hukum di Indonesia yaitu Profesi Polisi, Profesi Notaris, Profesi Pengacara/ Advokat, Profesi Hakim, Profesi Jaksa, Profesi Arbiter & Mediator


Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. 

Contoh profesi adalah pada bidang hukum, Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu, disebut profesional. 

1. Profesi Polisi

2. Profesi Notaris

3. Profesi Pengacara/ Advokat

4. Profesi Hakim

5. Profesi Jaksa

6. Profesi Arbiter & Mediator

7. Profesi Panitera & Jurusita

8. Profesi Pegawai Pemasyarakatan

9. Profesi Pengawas Syari'ah

Profesi adalah pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya;

1.Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis : Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada pengetahuan tersebut dan bisa diterapkan dalam praktik.

2.Asosiasi profesional : Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya. Organisasi profesi tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.

3.Pendidikan yang ekstensif : Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi .

4.Ujian kompetensi : Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.

5.Pelatihan institutional : Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.

6.Lisensi : Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.

7.Otonomi kerja : Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.

8.Kode etik : Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.

9.Mengatur diri : Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.

10.Layanan publik dan altruisme : Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat

Profesi Hukum (Profession of Law)

Profesi hukum adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile) karena bertujuan menegakkan hukum & keadilan dalam kehidupan masyarakat. Profesi hukum meliputi polisi, jaksa, hakim, advokad, notaris dan lain-lain, yang kesemuanya menjalankan aktivitas hukum dan menjadi objek yang dinilai oleh masyarakat tentang baik buruknya upaya penegakan hukum, walaupun faktor kesadaran hukum masyarakat sebenarnya juga sangat menentukan dalam upaya tersebut.

Berikut ini akan kita bahas beberapa profesi hukum di Indonesia

Selanjutnya, mari kita bahas satu persatu dari beberapa profesi diatas,

1. Polisi

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden . Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia. Polri dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).

Kode Etik di atur dalam, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, perlu ditetapkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Salah satu isinya yang disebutkan dalam Pasal 3 tentang,

Etika Kepribadian Polisi, Dalam Etika Kepribadian setiap anggota Polri wajib: 

a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 

b. menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri dari dalam hati nuraninya kepada Tuhan Yang Maha Esa; 

c. melaksanakan tugas kenegaraan dan kemasyarakatan dengan niat murni, karena kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai wujud nyata amal ibadahnya. 

2. Notaris

Notaris Menurut pengertian undang undang no 30 tahun 2004 dalam pasal 1, yaitu: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana maksud dalam undang-undang ini.” Pejabat umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi publik dari negara, khususnya di bidang hukum perdata.

Sebagai pejabat umum notaris adalah:

1.Berjiwa pancasila;

2.Taat kepada hukum, sumpah jabatan, kode etik notaris;

3.Berbahasa Indonesia yang baik;

Sebagai profesional notaris:

1.Memiliki perilaku notaris;

2.Ikut serta pembangunan nasional di bidang hukum;

3.Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat.

Notaris menertibkan diri sesuai dengan fungsi, kewenangan dan kewajiban sebagaimana ditentukan di dalam undang-undang jabatan notaris.

Pasal 1 angka 2 Perubahan Kode Etik Notaris Tahun 2015, Kode Etik Notaris adalah kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia berdasarkan keputusan konggres perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi setiap anggota Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (INI) serta wajib ditaati oleh semua yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para Penjabat sementara Notaris, Notaris Pengganti pada saat menjalankan jabatannya.

Kode Etik Notaris dilandasi oleh kenyataan bahwa Notaris sebagai pengemban profesi, yaitu orang yang memiliki keahlian dan keilmuan dalam bidang kenotariatan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang kenotariatan. 

Terdapat beberapa hal dalam kode etik notaris ini menurut Abdulkadir Muhammad :

1. Etika kepribadian Notaris, sebagai pejabat umum maupun sebagai profesional;

2. Etika melakukan tugas jabatan;

3. Etika pelayanan terhadap klien;

4. Etika hubungan sesama rekan Notaris.

3. Pengacara/ Advokat

Pengacara atau advokat atau Kuasa Hukum adalah kata benda, subyek. Dalam praktik dikenal juga dengan istilah Konsultan Hukum . Dapat berarti seseorang yang melakukan atau memberikan nasihat (advis ) dan pembelaan “mewakili” bagi orang lain yang berhubungan (klien) dengan penyelesaian suatu kasus hukum.

Istilah pengacara berkonotasi jasa profesi hukum yang berperan dalam suatu sengketa yang dapat diselesaikan di luar atau di dalam sidang pengadilan . Dalam profesi hukum, dikenal istilah beracara yang terkait dengan pengaturan hukum acara dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata . Istilah pengacara dibedakan dengan istilah Konsultan Hukum yang kegiatannya lebih ke penyediaan jasa konsultasi hukum secara umum.

KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA

1. Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN)

2. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)

3. Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI)

4. Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI)

5. Serikat Pengacara Indonesia (SPI)

6. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)

7. Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM)

Kode Etik Advokat Indonesia Yang Disahkan Pada Tanggal, 23 Mei 2002, dalam Pasal 2 tentang Kepribadian Advokat

Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang- undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.

4. Hakim

Hakim (Inggris : Judge ;Belanda : Rechter ) adalah pejabat yang memimpin persidangan. Hakim bertugas untuk memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Dalam menjatuhkan putusan Hakim memiliki pertimbangan-pertimbangan khusus yang secara langsung mempengaruhi hasil putusan tersebut.

Setiap profesional dituntut supaya memiliki nilai moral yang kuat. Franz Magnis Suseno mengemukanan 5 (lima) kriteria nilai moral yang mendasari kepribadian profesional Hakim, diantaranya adalah: Kejujuran, Autentik, Bertanggung Jawab, Kemandirian Moral, dan Keberanian Moral.

5. Jaksa

Jaksa adalah pegawai pemerintah dalam bidang hukum yang bertugas menyampaikan dakwaan atau tuduhan di dalam proses pengadilan terhadap orang yang diduga telah melanggar hukum.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang dimaksud dengan Jaksa adalah “Pejabat Fungsional yang diberi wewenang oleh undang undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang

Berikut Kewajiban Dan Larangan Bagi Seorang Jaksa

Kewajiban profesi Jaksa adalah: 

1. Mematuhi kaidah hukum, aturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan dan yang berlaku

2. Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan

3. Mendasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah agar mencapai keadilan dan kebenaran

4. Mempunyai sikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan atau ancaman pendapat publik secara langsung atau tidak langsung

5. Bertindak secara objektif dan tidak memihak

6. Memberitahukan dan atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka atau terdakwa maupun korban

7. Membangun dan menjaga hubungan fungsional antara aparat penegak hukum dalam mewujudkan Sistem Peradilan Pidana terpadu

8. Mengundurkan ciri dari penanganan perkara yang ada kaitan kepentingan pribadi atau keluarga

9. Memiliki hubungan pekerjaan, partai atau financial atau memiliki nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung

10. Menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia

11. Menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak terjadi pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan

12. Menghormati dan melindungi hak asasi manusia dan hak kebebasan sebagaimana yang tercantum pada peraturan perundang-undangan dan instrumen hak asasi manusia yang diterima secara universal

13. Menanggapi kritik dengan arif atau bijaksana

14. Bertanggung jawab secara eksternal kepada publik sesuai kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat mengenai keadilan dan kebenaran.

Larangan profesi Jaksa, yaitu:

1. Memakai jabatan atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau pihak lain

2. Merekayasa fakta-fakta hukum pada penanganan perkara

3. Menggunakan kapasitas dan otoritasnya dalam melakukan penekanan secara fisik atau psikis

4. Meminta atau menerima hadiah atau keuntungan serta melarang keluarganya meminta atau menerima hadiah atau keuntungan yang berhubungan dengan jabatannya

5. Menangani perkara yang memiliki kepentingan pribadi atau keluarga, memiliki hubungan bekerja, partai atau financial atau memiliki nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung

6. Bertindak deskriminatif dalam bentuk apapun

7. Membentuk pendapat publik yang bisa merugikan kepentingan penegakan hukum

8. Memberikan keterangan kepada publik kecuali terbatas pada hal-hal teknis perkara yang ditangani.

Penegakan kode perilaku Jaksa dan tindakan administratif terhadap jaksa yang tidak menjalankan kewajiban atau melanggar larangan telah diatur dalam peraturan Jaksa Agung.

6.Arbiter &  Mediator 

Profesi arbiter, berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”), yaitu seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.

Sementara arbitrase berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 30/1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Yang dapat diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat: 

a.cakap melakukan tindakan hukum; 

b.berumur paling rendah 35 tahun;

c.tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;

d.tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan

e.memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.

Selain itu, hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter dengan alasan agar terjamin adanya obyektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase. 

Selain persyaratan diatas, (Susanti Adi Nugroho) dalam bukunya Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya menyatakan bahwa syarat penting lainnya yang harus dimiliki arbiter, yaitu:

1.Para arbiter yang telah dipilih memiliki keahlian dalam suatu atau beberapa bidang, seperti bidang perbankan, asuransi, konstruksi, dan sebagainya, dan didukung oleh pengalaman yang cukup lama serta mempunyai nama yang bersih dan integritas yang tinggi;

2.Ia harus independen dan menunjukkan sikap tidak memihak, terbuka maupun tertutup (berarti ia tidak mewakili atau harus membela pihak yang memilihnya);

3.Harus menyampaikan kepada para pihak dan institusi di mana ia terdaftar agar setiap fakta dan keadaan yang mungkin akan menimbulkan keragu-raguan atas independensi dan ketidakberpihakannya yang mungkin timbul di dalam ucapan maupun pikiran para pihak yang bersengketa;

4.Terikat untuk menerapkan tata cara secara pantas menghargai dan menghormati prinsip perlakuan yang tidak memihak dan hak-hak para pihak untuk didengar;

5.Menyelesaikan dan memberi putusan dalam waktu sesingkat-singkatnya sesuai waktu yang telah ditetapkan;

6.Memelihara kerahasiaan para pihak juga setelah dikeluarkan keputusannya;

7.Selama pemeriksaan, ia berhak memperoleh kerjasama yang jujur dan terbuka dari para pihak;

8.Ia tidak bisa dituntut karena isi putusannya, kecuali terbukti memihak atau tidak independen.

Arbiter pun dapat berperan aktif sebagaimana tercermin dalam Pasal 49 ayat (1) UU 30/1999 yang menerangkan bahwa atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya.

Kemudian, perlu diketahui bahwa umumnya proses arbitrase dipimpin oleh seorang arbiter, tetapi tidak tertutup kemungkinan akan adanya panel arbiter yang terdiri dari 3 orang. Jumlah orang yang menjadi arbiter ditentukan dari beberapa faktor:

1.Jumlah yang dipersengketakan;

2.Kompleksitas perkara;

3.Nasionalitas dari para pihak;

4.Kebiasaan dagang yang relevan atau profesi yang terlibat dalam sengketa;

5.Ketersediaan arbiter yang layak;

6.Tingkat urgensi dari kasus yang bersangkutan.

Penunjukan arbiter dilakukan melalui perjanjian dan tercermin dalam Pasal 17 ayat (1) UU 30/1999, yaitu:

Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diterimanya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan terjadi suatu perjanjian perdata.

Susanti Adi Nugroho kemudian menjelaskan frasa “penunjukan dan pengangkatan arbiter dilakukan secara tertulis” membawa konsekuensi lahirnya suatu perjanjian perdata antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan.

Penunjukan ini mengakibatkan arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat, seperti yang diperjanjikan bersama.

Di sisi lain, Pasal 73 UU 30/1999 menyebutkan berakhirnya tugas arbiter karena:

a.putusan mengenai sengketa telah diambil;

b.jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau; atau

c.para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter.

Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa arbiter memiliki peran untuk menjalankan prosedur atau tata cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagaimana secara spesifik diatur dalam Pasal 27 – Pasal 48 UU 30/1999.

Selanjutnya,.

Mediator, dikenal dalam proses mediasi yang mengacu kepada Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“Perma 1/2016”), yaitu hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Yang dimaksud mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.[1] Selain itu, setiap mediator wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi Mediator yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung. 

Hakim tidak bersertifikat juga dapat menjalankan fungsi mediator dalam hal tidak ada atau terdapat keterbatasan jumlah mediator bersertifikat dengan syarat adanya surat keputusan ketua Pengadilan. 

Tugas mediator tercantum dalam Pasal 14 Perma 1/2016 yakni:

Dalam menjalankan fungsinya, mediator bertugas:

a.memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada para pihak untuk saling memperkenalkan diri;

b.menjelaskan maksud, tujuan, dan sifat mediasi kepada para pihak;

c.menjelaskan kedudukan dan peran mediator yang netral dan tidak mengambil keputusan;

d.membuat aturan pelaksanaan mediasi bersama para pihak;

e.menjelaskan bahwa mediator dapat mengadakan pertemuan dengan satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya (kaukus);

f.menyusun jadwal mediasi bersama para pihak;

g.mengisi formulir jadwal mediasi.

h.memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan permasalahan dan usulan perdamaian;

i.menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan pembahasan berdasarkan skala prioritas;

j.memfasilitasi dan mendorong para pihak untuk:

1.menelusuri dan menggali kepentingan para pihak;

2.mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak; dan

3.bekerja sama mencapai penyelesaian;

k.membantu para pihak dalam membuat dan merumuskan kesepakatan perdamaian;

l.menyampaikan laporan keberhasilan, ketidakberhasilan dan/atau tidak dapat dilaksanakannya mediasi kepada hakim pemeriksa perkara;

m.menyatakan salah satu atau para pihak tidak beriktikad baik dan menyampaikan kepada hakim pemeriksa perkara;

n.tugas lain dalam menjalankan fungsinya

Sehingga dapat diketahui bahwa peran mediator lebih condong kepada membantu merumuskan kesepakatan damai antara para pihak yang bersengketa dengan posisi netral dan tidak mengambil keputusan tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Setelah dikeluarkannya kesepakatan perdamaian, mediator kemudian mengajukannya agar dikuatkan dalam Akta Perdamaian kepada hakim pemeriksa perkara. 

7. Panitera & Juru Sita 

Jurun sita adalah salah satu pejabat yang bertugas di pengadilan, selain hakim, panitera, dan sekretaris pengadilan. Pekerjaan Juru sita banyak di lapangan, sehingga Anda tak akan menemukan jurusita duduk di belakang hakim saat sidang berlangsung. Meskipun demikian, hasil kerja jurusita berpengaruh pada administrasi pengadilan. Tenaganya terutama dibutuhkan dalam perkara perdata sejak awal hingga eksekusi putusan. 

Istilah juru sita merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, deurwaarder. Pekerjaan ini memang sudah ada dalam organisasi peradilan sejak zaman Belanda. Seorang juru sita berkedudukan sebagai pejabat umum yang diangkat atas usul Ketua Pengadilan. Ia termasuk tenaga fungsional di pengadilan, karena bertugas sesuai fungsi yang dimilikinya membantu tugas-tugas administrasi pengadilan. Karena itu, jurusita adalah bagian dari fungsi kepaniteraan pengadilan, dan dalam beberapa hal bertanggung jawab kepada dan berkoordinasi dengan Panitera. Perannya sangat penting untuk menjamin proses administrasi perkara berjalan. “

Memanggil para pihak yang bersengketa hanya salah satu tugas seorang juru sita. Undang-Undang menyaratkan agar pemanggilan dilakukan secara patut. Karena itu, seorang juru sita harus bisa mengatur jadwal persidangan, serta jeda waktu panggilan dan jadwal sidang. Tak hanya mengatur waktu, seorang juru sita harus punya jaringan. Sebab, dialah yang bertugas menghubungi media massa tempat relaas panggilan dimuat, atau menghubungi lurah tempat tinggal tergugat terakhir. Relaas menurut aturannya disampaikan ke alamat orang yang dituju. Kalau yang bersangkutan tidak ada, juru sita menghubungi Ketua RT/RW atau lurah setempat.

Setelah majelis hakim menjatuhkan putusan atas sengketa dan panitera mencatatnya, maka jurusita bertugas memberitahukan putusan kepada para pihak. Kalau ada amar penyitaan, jurusita bertugas menyiapkan dan melaksanakan sita terhadap objek yang disita. Bahkan adakalanya penyitaan sudah harus dilakukan sebelum putusan jatuh, yakni dalam hal sita jaminan dikabulkan majelis. Sita yang dilakukan setelah putusan lazim disebut sita eksekusi.

Agar tugas-tugas administrasi pengadilan tidak terganggu, Mahkamah Agung biasanya menetapkan jumlah pejabat juru sita di setiap pengadilan. Di pengadilan kelas I A, jumlah juru sita adalah lima dan juru sita pengganti 10 orang. Bandingkan dengan jumlah panitera maksimal 32 orang. Di pengadilan kelas I B, jumlah juru sita 4 orang dan jurusita pengganti 8 orang. Di pengadilan kelas II jumlahnya berkurang, sehingga masing-masing berjumlah 3 dan 6. Dalam jenjang kepangkatan pegawai, jurusita adalah pengatur muda, golongan II. Dengan demikian terungkap bahwa jumlah jurusita pengganti adalah dua kali lipat jurusita.

Soal kesejahteraan, jurusita juga mendapatkan ‘berkah’ remunerasi di lingkungan peradilan. Besaran gaji sangat tergantung pada golongan. Sedangkan besaran tunjangan sudah ditetapkan. Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2007 menetapkan tunjangan seorang juru sita sebesar Rp285 ribu (PN Kela IA), Rp270 ribu (kelas IB), dan Rp260 ribu (kelas II). Sedangkan juru sita pengganti berturut-turut Rp245 ribu, Rp235 ribu, dan Rp225 ribu per bulan.

Syarat-Syarat Menjadi Juru Sita Pengadilan, Berdasarkan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum

•Warga Negara Indonesia

•Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

•Setia kepada Pancasila dan UUD 1945

•Berijazah pendidikan menengah

•Berpengalaman sebagai jurusita pengganti minimal tiga tahun

•Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban

Jenjang juru sita dan juru sita pengganti tersebut berkaitan dengan persyaratan untuk menjadi juru sita. Kualifikasi pendidikan dan pelatihan jurusita lebih rendah dibanding hakim dan panitera. Untuk menjadi jurusita seseorang cukup lulus Sekolah Menengah Umum. Syarat yang khusus bagi jurusita pengganti adalah punya pengalaman minimal tiga tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan tingkat pertama, plus lulus seleksi penyaringan dan pendidikan. Sedangkan jurusita harus sudah berpengalaman minimal tiga tahun sebagai jurusita pengganti. Selebihnya adalah syarat sehat jasmani dan rohani, WNI, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Khusus jurusita di Pengadilan Agama, ada syarat tambahan yakni jurusita beragama Islam. Itu normatifnya.

Dalam praktik, Mahkamah Agung sudah merintis agar yang bisa diangkat menjadi jurusita adalah orang yang sudah bergelar strata satu, terutama sarjana hukum.

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO : 122/KMA/SK/VII/2013 TENTANG KODE ETIK PANITERA DAN JURUSITA

KETENTUAN UMUM

PASAL 1

Yang dimaksud dengan kode etik Panitera dan Jurusita ialah aturan tertulis yang wajib dipedomani oleh setiapPanitera dan Jurusita dalam melaksanakan tugas peradilan. Yang dimaksud dengan Panitera ialah Panitera, Kepala Panitera Militer, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Agung Rl dan Pengadilan tingkat banding dan Pengadilan tingkat pertama dari 4 (empat) lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung Rl yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.

Yang dimaksud dengan Jurusita ialah Jurusita dan Jurusita Pengganti yang diangkat untuk melaksanakan tugas kejurusitaan pada Pengadilan tingkat pertama dibawah Mahkamah Agung Rl yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Azas Peradilan yang baik ialah prinsip-prinsip yang wajib di junjung tinggi oleh Panitera dan Jurusita dalam melaksanakan tugasnya untuk mewujudkan peradilan yang mandiri sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Organisasi IPASPI adalah Organisasi Ikatan Panitera Sekretaris Pengadilan Indonesia Panitera dan Jurusita berada di bawah organisasi IPASPI.

MAKSUD DAN TUJUAN

PASAL 2

Kode etik Panitera dan Jurusita ini dibuat untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat atau harga diri yang mulia sebagaimana layaknya seorang Panitera dan Jurusita yang memberikan pelayanan prima dan adil kepada masyarakat pencari keadilan tanpa membeda-bedakannya berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

SIKAP PANITERA DAN JURUSITA DALAM MELAKSANAKAN TUGAS

PASAL 3

Panitera dan Jurusita wajib melayani masyarakat pencari keadilan dengan pelayanan yang prima yaitu dengan sopan, teliti, dan sungguh-sungguh serta tidak membeda-bedakan berdasarkan status sosial, golongan dan menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.

Panitera wajib menjaga kewibawaan dalam persidangan.

Panitera dan Jurusita dalam melaksanakan tugasnya wajib bersikap sopan dan santun serta tidak melakukan perbuatan tercela.

Panitera dan Jurusita dilarang memberikan kesan memihak kepada salah satu pihak yang berperkara atau kuasanya termasuk Penuntut Umum dan saksi sehingga seolah-olah berada dalam posisi istimewa.

Panitera dilarang membocorkan hasil musyawarah/konsep putusan kepada siapapun.

Jurusita dilarang mewakilkan kepada siapapun penyampaian relaas panggilan maupun pemberitahuan.

SIKAP PANITERA DAN JURUSITA DALAM PERSIDANGAN

PASAL 4

Panitera wajib berpakaian rapi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan duduk dengan sopan dalam mengikuti sidang pemeriksaan perkara.

Panitera wajib adil dan tidak membeda-bedakan para pihak dalam memanggil ke dalam ruang persidangan.

Panitera dilarang mengaktifkan hand phone/telepon selular selama persidangan berlangsung. (jo. Pasal 3 ayat 2)

Panitera dilarang mengantuk/tidur selama persidangan berlangsung. (jo. Pasal 3 ayat 2)

SIKAP PANITERA DAN JURUSITA Dl LUAR PERSIDANGAN

PASAL 5

Panitera dan Jurusita dilarang menjadi penasehat hukum baik langsung atau tidak langsung kecuali diatur dalam

Undang-Undang. (jo. Pasal 36 UU No. 49 Tahun 2009)

Panitera dan Jurusita dilarang menjadi penghubung dan memberikan akses antara pihak berperkara atau kuasanya dengan

Pimpinan Pengadilan atau Majelis Hakim.

Panitera dilarang membawa berkas perkara ke luar kantor kecuali atas izin Ketua Pengadilan/Ketua Majelis.

Panitera dan Jurusita dilarang memasuki tempat perjudian, tempat minuman yang memabukkan dan tempat prostitusi kecuali dalam melaksanakan tugas.

SIKAP PANITERA DAN JURUSITA DALAM KEDINASAN

PASAL 6

Panitera dan Jurusita wajib mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau golongan.

Panitera dan Jurusita wajib mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta memegang teguh rahasia negara dan rahasia jabatan sesuai dengan sumpah jabatannya.Panitera sebagai Pimpinan Kepaniteraan Pengadilan, didalam menjalankan tugasnya wajib memiliki kepribadian terpuji, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin, penuh pengabdian, dan rela berkorban demi peiaksanaan tugas.

Demi terpeliharanya kemantapan dan kelancaran peiaksanaan tugas serta untuk menegakkan citra yang baik dalam tugas pelayanan, Panitera dan Jurusita wajib mentaati dan meningkatkan 3 (tiga) tertib yaitu:

a. Tertib Administrasi

b. Tertib Perkantoran

c. Tertib Jam Kerja

SIKAP TERHADAP SESAMA

PASAL 7

Panitera dan Jurusita wajib memelihara dan memupuk hubungan kerjasama yang baik antara sesama pejabat kepaniteraan dan pejabat peradilan lainnya.

Panitera dan Jurusita wajib memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa dan saling menghargai antara sesama pejabat peradilan.

Panitera dan Jurusita wajib memelihara, membina kesatuan dan persatuan sesama aparat peradilan, berjiwa kesatria dan bertanggung jawab.

SIKAP TERHADAP BAWAHAN

PASAL 8

Panitera wajib memiliki sifat kepemimpinan, memberikan keteladanan dengan lugas dan dilandasi oleh sikap kekeluargaan.

Panitera wajib membina/membimbing bawahan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan.

SIKAP PANITERA DAN JURUSITA Dl LUAR KEDINASAN

PASAL 9

Panitera dan Jurusita wajib menjaga kerukunan, keharmonisan dan keutuhan rumah tangga.

Panitera dan Jurusita wajib memiliki rasa tanggung jawab terhadap keluarga.

SANKSI

PASAL 10

Kode Etik ini mengikat secara hukum kepada Panitera dan Jurusita di lingkungan Mahkamah Agung Rl dan 4 (empat) lingkungan peradilan di bawahnya dan pelanggaran terhadap kode etik ini dapat dijatuhi hukuman disiplin sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.

Panitera dan Jurusita yang akan dijatuhi hukuman pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat dari Pegawai Negeri Sipil terlebih dahulu diberi hak membela diri dihadapan Majelis Dewan Kehormatan Panitera dan Jurusita.

DEWAN KEHORMATAN PANITERA DAN JURUSITA

PASAL 11

Susunan Dewan Kehormatan Panitera dan Jurusita terdiri dari 5 (lima) orang yaitu:

1. 1 (satu) orang Pejabat dari Direktorat Jenderal yang bersangkutan.

2. 1 (satu) orang Pejabat dari Kepaniteraan Mahkamah Agung Rl.

3. 2 (dua) orang Pengurus IPASPI Pusat.

4. 1 (satu) orang Pengurus IPASPI Daerah.

TUGAS DAN WEWENANG DEWAN KEHORMATAN

PASAL 12

1.Dewan Kehormatan Panitera dan Jurusita mempunyai tugas :

a. Mempelajari hasil pemeriksaan yang bersangkutan yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan.

b.Mendengar dan memperhatikan pembelaan atas diri Panitera dan Jurusita yang akan dijatuhi hukuman.

2.Dewan Kehormatan Panitera dan Jurusita berwenang:

a. Memanggil Panitera dan Jurusita untuk didengar keterangannya sehubungan adanya saran tindak lanjut untuk dijatuhi hukuman.

b. Memberikan rekomendasi kepada pejabat yang berwenang berdasarkan hasil sidang majelis kehormatan Panitera       dan Jurusita.

PENUTUP

PASAL 13

Kode Etik ini dinyatakan sah dan mengikat kepada seluruh Panitera dan Jurusita pada Mahkamah Agung Rl dan 4 (empat) lingkungan peradilan di bawahnya terhitung mulai tanggal ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.

8. Pegawai Pemasyarakatan 

Tri Dharma petugas Pemasyarakatan merupakan tiga kewajiban yang diucapkan sebagai ikrar atau janji dan dilaksanakan sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam setiap pelaksanaan tugas sehari-hari dengan harapan petugas pemasyarakatan memiliki etos kerja sebagaimana tercantum dalam butir Tri Dharma Petugas Pemasyarakatan. Petugas yang menjadikan Tri Dharma tersebut sebagai dasar rujukan bersikap dan berperilaku akan senantiasa melaksanakan tugas kedinasan dan pergaulan hidup sehari-hari berdasarkan etika sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH16.KP.05.02 Tahun 2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan.

1.Pegawai pemasyarakatan adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM yang menjalankan tugas dan fungsi di bidang Pemasyarakatan.

2.Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan adalah pedoman sikap, tingkah laku atau perbuatan pegawai pemasyarakatan dalam pergaulan sehari-hari guna melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan, pembinaan, dan pembimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan.

3.Majelis Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan adalah lembaga No. struktural yang bertugas melakukan pencegahan, pelaksanaan, dan menyelesaikan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Pegawai Pemasyarakatan, terdiri atas:

1.Majelis Kode Etik Pusat, yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

2.Majelis Kode Etik Wilayah, yang diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

4.Setiap Pegawai Pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas kedinasan dan pergaulan sehari-hari wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam:

1.Berorganisasi

2.Melakukan pelayanan terhadap masyarakat

3.Melakukan pelayanan, pembinaan, dan pembimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan

4.Melakukan pengelolaan terhadap benda sitaan dan barang rampasan

5.Melakukan hubungan dengan aparat hukum lainnya

6.Kehidupan bermasyarakat

5.Sanksi bagi Pegawai Pemasyarakatan yang dinyatakan melakukan pelanggaran Kode Etik adalah berupa sanksi moral, yang dibuat secara tertulis dan dinyatakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Sanksi moral dapat berupa pernyataan secara tertutup atau pernyataan secara terbuka.

Agar bisa terbentuk sikap dan perilaku petugas pemasyarakatan yang selaras dan serasi dengan Tri Dharma, tidak ada salah dan mengapa sebagai penguat dan penyempurna, landas pijak dalam bersikap dan berperilaku petugas pemasyarakatan didasari nilai-nilai Islam yang sejatinya sudah terlebih dahulu mengatur kewajiban yang ada dalam butir Tri Dharma Petugas Pemasyarakatan. Hal tersebut mempunyai esensi apa yang terkandung dalam kewajiban Tri Dharma dapat menyisir dan meresap sampai kepada yang batin sehingga terbentuklah sikap dan perilaku yang baik serta beretika dalam pelaksanaan tugas sehari-hari yang didasari nilai-nilai luhur keagamaan.

Tri Dharma petugas Pemasyarakatan dan kewajiban Islam yang mengaturnya:

1. Kami petugas pemasyarakatan adalah abdi hukum, pembina narapidana, dan pengayom masyarakat.

Butir ini mengandung arti dalam setiap pelaksanaan tugas harus berpegang teguh pada aturan perundang-undangan dan SOP yang berlaku di lingkungan kerja. Selanjutnya, pembinaan kepada narapidana di lembaga pemasyarakatan (lapas) selain pelayanan kepada tahanan di rumah tahanan negara (rutan) secara definitif diartikan sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian. Hakikatnya, petugas Pemasyarakatan berupaya untuk mengajak kepada Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan tahanan untuk menjadi sosok yang lebih baik dan selalu berada dalam kebaikan dan kebenaran selepas menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan negara.

2. Kami petugas Pemasyarakatan wajib bersikap bijaksana dan bertindak adil dalam pelaksanaan tugas.

Butir kedua ini mengandung arti petugas Pemasyarakatan harus bisa bersikap bijaksana dalam menghadapi persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan memutuskan persoalan tersebut dengan seadil-adilnya dan harus netral dan tidak parsial kecuali kepada kebenaran. Selain itu, petugas Pemasyarakatan harus mengedepankan sikap multirasialisme dan menghilangkan diskriminasi rasial terhadap seluruh WBP dan tahanan.

3. Kami petugas Pemasyarakatan bertekad menjadi suri teladan dalam mewujudkan tujuan sistem Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila

Petugas Pemasyarakatan harus menjadi role model bagi yang lainnya, baik terhadap sesama petugas di lingkungan kerja maupun terhadap narapidana dan tahanan. Tidak dapat dinafikan bahwa segala tindak tanduk petugas Pemasyarakatan dalam pelaksanaan tugas “dibaca" oleh seluruh WBP dan tahanan. Oleh karenanya, tunjukkan sikap yang patut dicontoh terhadap mereka agar mereka dapat mentauladani. Tentu sikap dan perilaku yang layak dicontoh pastilah menurut dan berdasar ajaran agama dan kode etik. Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad merupakan sosok yang menjadi percontohan umat di dunia ini.

Oleh karenanya, apa yang menjadi ikrar dan kewajiban petugas Pemasyarakatan yang dituangkan dalam Tri Dharma petugas Pemasyarakatan haruslah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan sangat esensial untuk mengadopsi nilai-nilai agama yang berkaitan dengan butir Tri Dharma tersebut. Hal tersebut semata-mata dimaksudkan untuk membuat sadar petugas Pemasyarakatan bahwa menjalankan Tri Dharma tersebut secara tak langsung berarti menjalankan kewajiban dan perintah agama untuk membina, berlaku adil, dan menjadi contoh yang baik terhadap orang lain. Perlu disadari dan diresapi bahwa profesi petugas Pemasyarakatan adalah profesi yang mulia, wadah untuk berbuat kebajikan, dan ladang untuk aktivitas “bisnis” moral.

9.Pengawas Syari’ah

Berdasarkan Undang-Undang Perbankan, yang ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 35/36/KEP/DIR, pengawasan terhadap bank syari’ah dilakukan secara rangkap, berupa pengawasan umum dan pengawasan khusus.

Pengawasan umum terhadap bank ssyari’ah dilakukan oleh Bank Indonesia, sama seperti bank konvensional pada umumnya. Bank Indonesia bertindak mengawasi bank syari’ah selaku pemegang otoritas pembina dan pengawas bank. Di samping itu, secara internal bank syari’ah diawasi pula oleh dewan komisaris, dewan pengawas, atau pengawas bank lainnya.

Pengawasan khusus terhadap bank syari’ah dilakukan oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang ada setiap bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syari’ah(Nawawi, 2009). MUI pada intinya lebih antisipatif dalam meresponi kebutuhan umat akan kehadiran sistem ekonomi syari’ah dengan membentuk lembaga khusus pada taahun 1999, yaitu

Dewan Syari’ah Nasional (DSN), yang bertugas memberikan fatwa atau landasan syari’ah terhadap setiap bentuk-bentuk ekonomi yang berbasis syari’ah. Disinilah

Dewan Syari’ah Nasional terus menerus memberikan dedikasi dan khidmahnya, dengan jalan terus merespons, memberikan formulasi alternatif terhadap model-model pengembangan produk dari lembaga keuangan yang berbasis syari’ah.

Pola pengembangan ekonomi syari’ah di Indonesia, selain tidak boleh bertentangan dengan syari’ah Islam, juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Karenanya, landasan hukum ekonomi syari’ah semakin diperkuat dan diperluas, baik landasan yuridis yang bersifat normatif maupun yang bersifat positif agar semua pihak yang terlibat dalam ekonomi syari’ah menjadi aman dan tidak lagi dirasuki kekhawatiran-kekhawatiran yang tidak mendasar. Penyiapan perangkat yuridis kini terus berlangsung dan meningkat seperti UU Perbankan Syari’ah, dan tentunya diharapkan perhatian yang sama untuk bidang-bidang lainnya juga seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, BMT, sekuritas syariah, dan sebagainya.

Satu lagi keberhasilan yuridis bagi pengembangan ekonomi syari’ah, yaitu hasil amandemen Undang Undang peradilan agama menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradialan Agama, melalui pasal 49 dinyatakan secara ekplisit bahwa secara legalitas pengadilan agama berwenang secara absolut memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara yang timbul di bidang ekonomi syari’ah. Hal ini semakin memperkokoh posisi ekonomi syari’ah dalam tata hukum nasional Indonesia serta semakin menjamin keamanan bagi semua pihak yang bertransaksi dengan institusiinstitusi ekonomi syari’ah. 

Ke depan peran Dewan Syari’ah Nasional semakin penting selain karena secara kualitas institusi-institusi ekonomi syari’ah semakin bertambah dan meluas, melainkan juga tantangan kualitasnya semakin komplek dan membutuhkan jawaban empirik. Sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992, maka selain institusi-institusi lembaga keuangan syari’ah banyak bermunculan seperti jamur di musim hujan, juga banyak bermunculan institusi-institusi pendidikan membuka program pendidikan diploma perbankan syari’ah baik D III, S1, S2, dan S3 pun tidak mau ketinggalan turut serta membuka jurusan baru yaitu Mu’amalah (yang sekarang menjadi prodi Hukum Ekonomi Syari’ah), Ekonomi Islam, manajemen bisnis Islam, perbankan Syari’ah, dan akuntansi Syari’ah. 

Diharapkan institusi-institusi pendidikan ini nantinya mampu menghasilkan SDM yang handal di bidangnya dan mampu menangkap peluang kerja yang ada. Tidak menutup kemungkinan seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan perbankan Syari’ah di Indonesia menuntut pula lembaga keuangan yang lainnya berdiri. Dengan demikian lapangan kerja sangat terbuka di bidang lembaga keuangan Syari’ah baik bank syariah maupun non bank syariah terutama di bidang profesi keahlian seperti Dewan Pengawas Syari’ah.

Diantara perbedaan bank konvensional dengan bank Syari’ah adalah srtuktur organisasinya. Di bank Syari’ah dan lembaga keuangan Syari’ah lainnya harus dan wajib adanya Dewan Pengawas Syari’ahnya. Dewan Pengawas Syari’ah merupakan profesi khusus yang harus memiliki keahlian dalam bidang ilmu fiqih mu’amalah secara mendalam sekaligus faham tentang pengetahuan perbankan.

Sehingga institusi-institusi pendidikan tersebut mencoba mengemas dan merumuskan sedemikian rupa kurikulum yang ada untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan pangsa pasar, seperti fiqih mu’amalah, tafsir hukum bisnis Islam, hadist hukum bisnis Islam, lembaga keuangan syari’ah, managemen bank syari’ah, sistem operasional bank syari’ah, hukum perbankan, asuransi syari’ah, dan aplikasi komputer perbankan.

Walaupun begitu, istilah profesional dalam setiap profesi juga digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Itu hanyalah sebuath istilah yang beredar di masyarakat, namun pada keyataannya bisa berbeda tergantung kembali terhadapa sudut pandang masing-masing.

Posting Komentar

Profile
RISKY KURNIAWAN HIDAYAT, S.H., M.H.
Malang, Jawa Timur, Indonesia