Home Hukum Pidana Info Hukum Kohabitasi dalam KUHP baru UU Nomor 1 tahun 2023 yang berlaku di tahun 2026

Kohabitasi dalam KUHP baru UU Nomor 1 tahun 2023 yang berlaku di tahun 2026

Ada bayak sekali yang berubah terkait UU baru ini, terutama hal yang berdekatan dengan Masyarakat atau lingkungan sekitar kita,

Bagi yang belum pernah dengar istilah Kohabitasi, mungkin pernah dengar yang nama yang “kumpul kebo”

Nah, kalau yang itu mungkin familiar ya?

Kita akan urai tentang aturan yang baru dari KUHP baru yang berlaku di tahun 2026.

Kohabitasi dalam KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) diatur dalam Pasal 412 sebagai tindak pidana baru yang melarang hidup bersama sebagai suami istri di luar ikatan perkawinan yang sah secara Hukum. Pasal ini merupakan delik aduan dengan ancaman pidana penjara maksimal 6 bulan atau denda kategori IV yaitu sekitar 10jt, dan hanya bisa dituntut jika ada pengaduan dari pasangan sah, orang tua, atau anak yang dirugikan. 

Poin Penting Mengenai Kohabitasi dalam KUHP Baru:

•Definisi Kohabitasi: Merujuk pada tindakan hidup bersama di luar perkawinan sah seolah-olah mereka adalah pasangan suami istri. 

•Pasal yang Mengatur: Pengaturan kohabitasi terdapat dalam Pasal 412 UU 1/2023 tentang KUHP. 

•Tindak Pidana Baru: Kohabitasi adalah tindak pidana baru yang tidak dikenal dalam KUHP lama. 

•Pihak yang Melaporkan (Delik Aduan): Penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan dari pihak-pihak yang dirugikan, seperti: 

oPasangan perkawinan yang sah. 

oOrang tua. 

oAnak-anak mereka yang sudah berumur 16 tahun ke atas. 

•Sanksi: Pelaku dapat dikenai sanksi berupa pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. 

•Kontroversi: Pengaturan kohabitasi ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat karena dianggap sebagai isu privasi. 

•Penyertaan Mutlak: Delik ini mensyaratkan adanya penyertaan mutlak antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. 

•Penerapan Hukum: KUHP baru ini bertujuan menjaga keseimbangan norma dan nilai-nilai etika serta agama yang berlaku di masyarakat Indonesia. 

Kemudia, kalian pernah dengar yang Namanya nikah siri?

Nah, ternyata pernikahan yang sah menurut agama, yaitu nikah siri juga tergolong sebagai kohabitasi, kok bisa?

Yah, karena nikah siri secara umum adalah pernikahan yang dilakukan tanpa di sahkan secara hukum negara atau tertulis,

Berikut alasan kenapa nikah siri masuk kohabitasi,

Nikah siri adalah pernikahan yang dilaksanakan sesuai syarat sah agama Islam, tetapi tidak dicatatkan secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Catatan 

Sehingga tidak memiliki kekuatan hukum di mata negara. Meskipun sah secara agama dan dilakukan dengan wali serta saksi, pernikahan ini tidak memiliki legalitas untuk mengurus dokumen kependudukan, hak-hak hukum, atau warisan, dan berpotensi merugikan pihak istri serta anak. 

Pengertian dan Dasar Hukum

•Secara Agama: 

Nikah siri dianggap sah secara agama Islam jika telah memenuhi rukun dan syarat nikah, seperti adanya calon mempelai, wali, dua orang saksi, dan adanya ijab kabul. 

•Secara Negara: 

Pernikahan ini tidak dicatatkan di lembaga resmi seperti KUA atau Catatan Sipil, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang diakui oleh negara. 

Dampak dan Konsekuensi

•Tidak Ada Legalitas: 

Pasangan tidak memiliki buku nikah atau akta nikah sebagai bukti pernikahan yang sah. 

•Kesulitan Administrasi: 

Pasangan tidak dapat mengurus dokumen kependudukan seperti KTP, Kartu Keluarga (KK), atau paspor. 

•Hak Anak dan Warisan: 

Anak yang lahir dari nikah siri akan memiliki status seperti anak luar kawin dan sulit mendapatkan hak waris serta status hukum yang jelas. 

•Perlindungan yang Lemah: 

Istri yang menikah siri lebih rentan kehilangan hak-haknya, seperti nafkah atau hak atas harta gono-gini, karena tidak ada legalitas hukum yang mengikat pasangan. 

•Potensi Penyalahgunaan: 

Praktik nikah siri dapat membuka peluang bagi suami untuk lebih leluasa meninggalkan kewajibannya atau terjadi poligami yang tidak sah di mata hukum. 

Alternatif dan Solusi

•Pencatatan Resmi: 

Dianjurkan untuk melakukan pencatatan pernikahan di KUA atau Catatan Sipil untuk mendapatkan perlindungan hukum dan legalitas yang jelas bagi pasangan dan anak. 

•Peraturan Negara: 

Meskipun pernikahan siri sah secara agama, warga negara tetap wajib mematuhi peraturan negara yang berlaku, termasuk mengenai pencatatan pernikahan. 

Nah, patut di pertimbangkan lagi bagi pasangan yang nikah siri di tahun 2026, karena apabila ada laporan atau Delik Aduan dari masyarat maka bisa di Pidana.

Seperti yang di jelaskankan diatas tadi bahwa nikah siri bisa masuk kohabitasi karena tidak tercatatkannya di KUA atau tidak sah secara hukum.

Sebenarnya masih banyak lagi, aturan baru di KUHP atau UU Nomor 1 tahub 2023. 

Sebnarnya ada beberapa tidak bisa saya urai, mungkin lain Waktu akan saya urai perlahan terkait Hukum adat yang ada di KUHP baru ini, dan masih banyak lagi

Komentar

Advertisement
Advertisement